Limo Koto Bersatu, Airtiris Negeri Berdaulat

بسم الله الحمن الرحيم.
اِهۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِيۡمَۙ‏ ٦
صِرَاطَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ
عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّين. ٧

6.Tunjuki kami jalan yang lurus.
7.(Yaitu) jalan orang- orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan ( jalan ) mereka yang dimurkai, dan bukan ( pula ) jalan mereka yang sesat. (QS.Al-Fatihah: 6-7).

Kesultanan Nusantara merupakan catatan sejarah Islam yang tidak bisa dipisahkan dari bagian kekhalifahan Islam Dunia, di mana Peradaban Islam menggantikan Peradaban Imperium Romawi kuno Eropa Barat, Eropa Timur dan Imperium Kekaisaran Parsi (Iran sekarang), dari abad 6 – abad 19 Masehi.

Proses sejarah yang panjang masuknya Islam ke wilayah Nusantara melalui Dakwah kultural dan perdagangan sebagai agama-agama populis, egaliter dengan etos budaya dagang. Pemeluk Islam di Nusantara ini adalah pedagang Arab yang terdidik membawa misi Dakwah, para pedagang kaya, dermawan dan humanis terpelajar, tentu saja menjadi daya tarik bagi kaum pribumi.

Demikian juga kesultanan Nusantara sekitar abad 12 Masehi di Aceh awalnya hanya hubungan persahabatan dan perdagangan tersebut, akhirnya mendirikan Daulah Islamiyah yang dimulai dari kesultanan Samudera Pasai, berlanjut kesultanan Malaka tahun 1477-1488 Masehi, berikut munculnya kesultanan Kampar tahun 1505-1511 Masehi dan seterusnya. Ketertarikan dengan kesultanan Kampar masa kejayaan Lima Koto Bersatu Air Tiris Negeri Berdaulat merupakan bagian dari kesultanan Malaka yang luas.

Wilayah kekuasaannya Ketika itu kesultanan Nusantara menyebar ke seluruh tanah air bumi pertiwi dari Aceh hingga Papua tersebut memang masih berdaulat walaupun Islam dari pusatnya Timur Tengah sangat jauh dan transportasi hanya sarana kapal laut, tetapi satu kesatuan umat Islam masih utuh secara Ideologis.

Masuk VOC yang berkedok perdagangan, tetapi kecurangannya menimbulkan peperangan terus menerus hampir di semua kesultanan Nusantara dari abad 13 M – abad 17 M, setelah perang panjang VOC bangkrut dan diambil alih oleh pemerintahan kolonial kerajaan Belanda yang menggunakan teori sekularisasi dan westernisasi dengan merestrukturisasi dan menjalankan fungsi – fungsi politik, menghasilkan stabilitas sosial politik selama jeda dua abad mereka dengan leluasa menguras kekayaan Alam Nusantara. Kesadaran masyarakat tidak lagi terwakili oleh golongan bangsawan, sultan – sultan, Aristokrat, pegawai pemerintah kolonial dan kelas menengah pro Belanda.

Tetapi pimpinan pergerakan beralih pada para tokoh masyarakat ulama, pemimpin ORMAS Islam, Nasionalis, golongan santri, abang buruh, dll. Sepakat memperjuangkan kemerdekaan.

Kesatuan Ideologis Kesultanan Nusantara ditandai dengan perang jihad fi sabilillah melawan penindasan dan kecurangan VOC di hampir semua tanah air, antara lain :
1.      Perang Ternate tahun 1635 – 1654 Masehi
2.      Perang Makassar tahun 1666 – 1669 Masehi
3.      Perang Trunajaya tahun 1674 – 1680 Masehi
4.      Perang Banten tahun 1680 – 1682 Masehi
Mempertahankan kesatuan dan kedaulatan kesultanan Nusantara tidak kalah penting perlawanan juga terjadi berlanjut abad ke 17 Masehi, mulai dari Kesultanan Aceh Samudera Pasai, Pagaruyung, Muara Takus Kampar, Petapahan, Siak Sri Indrapura, Lingga Kepri dan Malaka, berakhir dengan kebangkrutan VOC dan pengambilalihan Pemerintahan Kerajaan Belanda.

Periode Pemerintahan kolonial penjajahan Belanda, situasi, kondisi sosial politik, Hukum, Ekonomi dan kebudayaan mulai berubah secara sistematis melalui strukturalisasi dan westernisasi dengan metode struktural fungsional sistem politik kolonial.

Berakhirnya perang Banten tahun 1682 jeda lebih kurang tiga generasi kesadaran muncul, awal abad 18 Masehi yang digerakkan para ulama tokoh pergerakan pejuang kemerdekaan mengambil antara lain yang menonjol;
–          Perang Cirebon tahun 1802 – 1806 M
–          Perang Palembang tahun 1812 – 1816 M
–          Perang Padri Sumbar tahun 1821 – 1838 M
–          Perang Diponegoro tahun 1826 – 1830 M
–          Perang Banjarmasin tahun 1859 – 1863 M
–          Perang Aceh tahun 1873 – 1904 M
Jika di Jawa dikenal dengan Pangeran Diponegoro dan di Sumatera juga tidak kalah populer Tuanku Imam Bonjol dengan perang padri dari Sumbar. Tuanku Rao dari Tapanuli Selatan, Tuanku Tambusai dari Riau daratan. Para ulama yang berasal dari bangsawan Kesultanan Nusantara, mereka tidak pernah kompromi dengan kolonial Belanda termasuk Kesultanan Kampar Raja terakhir Pangeran Mahmud Adhli Syah, mereka inilah para ulama yang berasal dari Bangsawan Kesultanan Nusantara yang mengobarkan perang jihad fi sabilillah melawan penjajah.

*Prof.Dr.H.Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc,.MM,.Ph.D.
Dt.Sri Cemerlang – Hakim Agung Diradja Airtir Melayu Kampar