Opini : Prof.Dr. Muhammad Sabri, MA. Direktur Pengkajian Kebijakan PIP BPIP RI

*Keraton, Kebudayaan Nusantata, dan Pancasila*

Ide menjadikan keraton-keraton dan kerajaan nusantara sebagai “pusat-pusat” kebudayaan dan tradisi di republik tercinta, menarik untuk dikaji lebih jauh, menyusul kemungkinan terpautnya hal itu dengan pengandaian genial Bung Karno: Pancasila sebagai _Weltanschauung._

Sejak awal, keraton atau kerajaan nusantara bukan hanya sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi, tapi juga “penjaga” tradisi dan kebudayaan leluhur yang terwariskan dari generasi ke generasi.

Bayang-bayang pekat kebangkitan “feodalisme” di balik gagasan revitalisasi keraton dan kerajaan nusantara, memang tampak sangat kuat aromanya pada masa rezim politik Orba.

Rezim ini mendaku, kolonialisme Belanda sebagai “bapak buah” feodalisme “sukses” sekian ratus tahun mencengkeramkan kuku-kukunya di jantung ibu pertiwi justru karena “kongsi abadi” dua sejoli itu. Politik “pecah belah” dan “adu domba” _(devide et empira)_ yang digencarkan kolonialisme Belanda, menciptakan benturan dan skisma keras di antara anak bangsa yang tak terhindarkan. Dalam kebijakan ini, kolonialisme Belanda menjadikan keraton-keraton dan kerajaan sebagai “perpanjangan tangan” kekuasaannya. Sementara, kerajaan juga para patriot kesatria yang tak setuju dan melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan politik “pecah belah” Kolonial itu, dilumpuhkan. Sejak itu, stigma yang memosisikan keraton dan kerajaan nusantara sebagai “kaki tangan” kolonialisme demikian kuat tertanam dalam metakognisi masyarakat nusantara.

Terlepas dari konstruksi dan posisi peyoratif keraton dan kerajaan dalam teropong rezim politik Orba, kita coba mengurai anggitan “feodalisme” secara lebih pradah, konseptual, dan dari latar sosio-historis dan kultur nusantara.

Dalam tradisi kekuasaan politik-ekonomi, kerajaan-kerajaan di Eropa, khususnya Inggris, Prancis, Spanyol, dan Germania, mereka tidak mengenal “feodalisme” sebagai bagian dari kalangan bangsawan, kecuali dari jalur “luar” gen aristokrasi.

Sejatinya, anggitan “feodalisme” (dari akar kata bahasa Latin, _”feod”_ yang berarti “tanah”) adalah kaum “Tuan-tuan Tanah”, yang dengan tanahnya yang luas mampu mempekerjakan “budak” dan “buruh tani” yang tak sedikit guna menggarap perkebunan mereka. Perkebunan-perkebunan “raksasa” tersebut pada urutannya membentuk semacam “kerajaan bisnis” yang juga cukup berpengaruh terhadap kekuasaan politik-ekonomi kerajaan. Untuk menganalisasi dan “mengendalikan” kekuatan kaum feodalisme di bawah wibawa kerajaan, maka raja atau ratu di Eropa memberi “pangkat dan gelar kebangsawanan” _(Sir)_ kepada kaum feodalis tersebut.

Berbeda halnya dengan tradisi keraton dan kerajaan di nusantara, para raja atau ratu di samping memegang kekuasaan politik dan ekonomi juga “pemilik” tanah di seluruh wilayah teritorialnya. Sebab itu, tradisi dan kultur kekuasaan politik-ekonomi keraton dan kerajaan nusantara tidak mengenal konsep atau anggitan “feodalisme” seperti halnya di Eropa.

Dari perspektif sosio-historis dan kultural nusantara tersebut, tampaknya ikhtiar revitalisasi terhadap institusi keraton dan kerajaan sebagai “pusat budya dan tradisi” tidak identik dengan kebangkitan feodalisme, tetapi bahkan menjadi lahan subur bagi penggalian dan penyelaman _Weltanschauung_ di tanah air, baik yang bersumber dari ladang-ladang kearifan maupun samudera-samudera kebijaksanaan nusantara.

*(Muhammad Sabri)*

Senin, 27 Juni 2022.

Salam Pancasila.

🙏😊🌹🇲🇨