KARAKTER PEMIMPIN

KARAKTER PEMIMPIN

Ada sebuah ayat Al-Qur’an yang cukup menggambarkan bagaimana karakter kepemimpinan Rasulullah sebagai penyampai risalah sekaligus pemimpin.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

 “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS at-Taubah: 128)

Disampaing ada emapat sifat asasi nabi sebagai pemimpin, yaitu Jujur/ Benar, Amanah, Tabligh/ Komunikatif dan Cerdas, sesungguhnya ayat ini setidaknya mengungkap empat hal;

Pertama, Allah menurunkan risalah kepada umat manusia melalui sosok mulia yang juga manusia, bukan jin ataupun malaikat yang sukar dijangkau. Hal ini mengandung hikmah untuk memudahkan umat manusia dalam meneladani sosoknya. 

Nabi Muhammad SAW adalah figur yang sangat dekat dengan umatnya, memahami dan sanggup berkomunikasi (berbahasa) secara baik dengan sasaran dakwahnya. Sebagaimana manusia lainnya, Rasulullah merasakan apa yang dirasakan makhluk fisik pada umumnya: seperti rasa lapar, haus, butuh istirahat, bisa terluka, kepanasan, kedinginan, dan lain sebagainya.

Namun, justru dari sinilah umatnya bisa belajar keteladanan luar biasa tentang kesederhanaan, kesabaran, keikhlasan, keberanian, kejujuran, kedermawanan, dan sifat-sifat positif lainnya dalam wujud yang sangat nyata. Rasulullah tampil dalam wujud yang manusiawi, tapi sekaligus sarat nilai-nilai kemanusiaan. 

Kedua, Rasulullah memiliki empati yang amat tinggi terhadap penderitaan umatnya. Beliau memberi teladan kepemimpinan yang tidak memberatkan. 

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengaitkan kalimat ‘azîzun ‘alahi mâ ‘anittum dengan dua hadits: 

بُعِثْتُ بِاْلحَنِيْفِيَّة السَّمْحَة:pertama:# “Aku (Muhammad SAW) diutus untuk membawa agama yang lurus dan toleran.”

 إِنَّ هَذَا الدِّيْنَ يُسْرٌ: Kedua# “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah kemudahan.”

Dengan bahasa lain, Rasulullah sama sekali tak menghendaki adanya hal-hal yang menyulitkan umatnya, bahkan untuk urusan ibadah sekalipun.

Sebagai contoh, tentang shalat tahajud yang Nabi laksanakan tiap malam secara istiqamah di masjid. Begitu tahu sahabat-sahabatnya berbondong-bondong meneladani rutinitasnya, Rasulullah beberapa hari kemudian tak pergi ke masjid. Alasan beliau, tak ingin memberi kesan bahwa shalat tahajud wajib sehingga bakal memberatkan umatnya di kemudian hari.

Rasulullah juga pernah menegur sahabatnya, Mu’adz, yang membaca bacaan terlalu panjang saat memimpin shalat berjamaah. Menurut Nabi, seorang imam harus mempertimbangkan makmumnya yang mungkin terdiri dari orang tua dan orang-orang yang mempunyai keperluan.

Ketiga, Nabi juga merupakan sosok yang sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan bagi umatnya. Ibnu Katsir saat menerangkan harîshun ‘alaikum menghubungkannya dengan hidayah dan kemaslahatan bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Beliau mendorong adanya proses kesadaran ilahiyah dalam setiap hembusan nafas manusia, juga tersingkirnya mudarat atau kerugian bukan hanya secara duniawi tapi juga ukhrawi.

Keempat, ayat tersebut menegaskan tentang sifat Nabi yang raûf (welas asih) lagi rahîm (penyayang) kepada umatnya. Kita tahu bahwa dua sifat itu adalah bagian dari 99 asmaul husna. Ini sekaligus menunjukkan keistimewaan derajat Nabi Muhammad.

 Dua nama indah Allah dilekatkan pada diri beliau. Rahmat atau kasih sayang tersebut mewujud dalam karakter kepemimpinan Rasulullah yang tidak kasar menghadapi masyarakat. Beliau juga gemar memaafkan dan memohonkan ampun ketika umatnya yang berlaku salah, bersedia bermusyawarah, dan bertawakal kala tekad sudah bulat. Seperti yang dituturkan Al-Qur’an:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting).

Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS Ali Imran: 159)

Demikianlah karakter Nabi Muhammad SAW yang kita yakini sebagai teladan paling ideal bagi umat manusia. Keyakinan ini juga dibenarkan oleh ayat suci bahwa di dalam diri Rasulullah ada contoh yang baik (al-Ahzab: 22).

*(Abah Queenfaz)